Thursday, December 14, 2006

Surat Cinta Dari Sang Paman

Dalam bukunya “The Screwtape Letters”, C. S. Lewis menceritakan isi surat-surat Screwtape, sang paman, kepada Wormwood, keponakannya. Yang menarik di sini adalah siapa kedua tokoh utama tersebut dan apa isi surat yang diceritakan. Jadi, Screwtape adalah seorang setan tua “senior” yang ilmunya ia bagikan kepada Wormwood, setan “junior” yang “masih lugu”. Dalam ke-31 bab pada buku ini, isi pikiran, strategi, maupun karakteristik setan (dan iblis) dalam menjerat manusia dituangkan secara jenius melalui percakapan-percakapan pada surat mereka.

Meskipun buku ini hanya merupakan hasil pemikiran dan imajinasi sang pengarang, namun bagi saya apa yang digambarkan bisa jadi merupakan pengalaman kita sehari-hari yang tidak disadari. Mungkin isi setiap bab dalam buku ini dapat menjadi bahan refleksi pribadi bagi pembacanya. Berikut ini saya akan membagikan insight yang saya peroleh setelah membaca buku tersebut.

Kasus I: Kehidupan Nyata
Iblis berusaha mengarahkan kita (manusia) pada “kehidupan nyata”, yaitu apa yang kelihatan di depan mata saja. Ia menjauhkan kita dari ”pergumulan”, yaitu usaha kita untuk memikirkan apa yang benar dan yang salah, termasuk bernalar tentang Allah. (termasuk juga ilmu pengetahuan tentang manusia, seperti psikologi). Hal ini berbahaya karena dapat menciptakan kecenderungani manusia yang materialistis.

Kasus II: Kebiasaan
”Kebiasaan” sering menjadi alat atau kesempatan iblis untuk menarik kita. Misalnya kebiasaan melihat hanya keburukan orang lain di sekitar, termasuk orang-orang yang ”terlihat rohani” dalam gereja. Kebiasaan lain lagi misalnya membanding-bandingkan kebaikan diri sendiri dengan perbuatan orang-orang yang (katanya) rohani” tersebut. Akibatnya, sedikit saja kesalahan mereka terlihat, maka hal itu akan menjadi begitu menonjol dan dipermasalahkan. Apa yang seharusnya adalah berpikir untuk menerima mereka apa adanya, yang juga memiliki kekurangan, sama seperti kita.

Kasus III: Mementingkan Kehidupan Batin
Hanya mementingkan kehidupa batin, tanpa ingat pada hubungan dengan orang di sekitar juga tidak baik. Masalahnya, kadang-kadang karakter manusia yang buruk (atau bahkan makin memburuk) tidak dapat kita sadari sendiri. Mungkin kita melakukan evaluasi diri, namun pada akhirnya hasilnya tetap saja ”tidak ada sedikitpun kesalahan yang telah kita lakukan”. Kesalahan yang mungkin sebetulnya terlihat begitu jelas dilihat oleh orang di sekitar (teman atau keluarga, misalnya).
Terlalu mementingkan kehidupa rohani dapat membuat kita ”fokus” hanya pada dosa-dosa orang lain, sehingga kita berdoa untuk orang yang ada dalam bayangan kita sendiri saja.
Iblis juga suka menggunakan prasangka dan sifat learning / pengkondisian (yang ada pada diri manusia), serta kepekaan dan kesensitifan pada ”kata-kata” yang diucapkan orang lain sehingga akhirnya menimbulkan kesalahpahaman dan berujung pada perpecahan. Padahal mungkin jika ”kata-kata” tersebut kita yang menggunakannya dan orang marah / tersinggung, maka kita hanya akan menganggapnya ”terlalu berlebihan”.

--to be continued--